Jakarta, 3 Juni 2022 – The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,5%. Selain itu, The Fed juga menargetkan suku bunga dana federal berada di kisaran 0,75% hingga 1%. Kebijakan tersebut ditempuh untuk menetralisir kondisi inflasi AS, dimana pada Maret 2022 kenaikan year on year (yoy) inflasi AS telah mencapai 8,4 persen atau rekor tertinggi dalam 41 tahun terakhir. Sebagai upaya lanjutan, selain kenaikan suku bunga, The Fed juga berencana menyusutkan neraca gemuk mereka yang sudah menyentuh US$9 triliun mulai 1 Juni 2022 mendatang.
Pasar keuangan global pun langsung merespons negatif. Pasalnya, inflasi global sampai saat ini masih belum bisa dikendalikan, mulai dari peningkatan inflasi terkait dampak perang Rusia - Ukraina dan terhambatnya rantai pasokan dari Cina terkait isolasi Covid yang sangat ketat, hingga langkah Uni Eropa yang menghentikan impor minyak dari Rusia.
Direktur Eksekutif Jubilee USA Network, Eric LeCompte mengatakan dampak kenaikan suku bunga itu juga dirasakan di negara - negara di luar Amerika. Kebijakan ini memukul para pemilik toko di Sri Lanka, petani di Mozambik dan keluarga - keluarga di negara - negara miskin di seluruh dunia. Dampak di luar negeri berkisar biaya pinjaman yang lebih tinggi sampai pada nilai mata uang yang menurun (depresiasi).
Kenaikan suku bunga ini tentunya juga berdampak pada perekonomian Indonesia. Dengan naiknya suku bunga The Fed, Bank Indonesia (BI) tentu akan mengikuti kenaikan ini dengan menaikkan suku bunga acuannya. Hal ini akan memicu terjadinya tekanan ekonomi di Indonesia karena konsumen belum siap menghadapi kenaikan suku bunga. Pasalnya, kenaikan suku bunga The Fed akan meningkatkan beban masyarakat Indonesia, di mana bunga KPR, bunga kredit kendaraan bermotor, hingga bunga pinjaman modal usaha akan mengalami kenaikan juga.
Menurut Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, mengatakan kebijakan suku bunga The Fed akan mendorong larinya aliran modal dari negara berkembang termasuk Indonesia ke AS, yang memungkinkan terjadinya capital outflow dimana rupiah akan semakin melemah. Bila rupiah melemah, beliau menjelaskan maka beban utang pemerintah akan meningkat karena banyaknya utang pemerintah dalam bentuk mata uang asing.
Johanna Gani, CEO Grant Thornton Indonesia mengatakan, “Kenaikan suku bunga The Fed tentunya akan memberikan dampak kepada Indonesia, salah satunya pada nilai tukar rupiah, di mana rupiah akan terdepresiasi atau melemah. Akan tetapi, kekuatan nilai tukar tidak hanya dapat ditentukan oleh faktor global namun juga fundamental ekonomi suatu negara. ”
“Oleh karena itu, pemerintah dan Bank Indonesia harus bersiap diri. Di sisi APBN, pelemahan rupiah dapat membebani pembayaran hutang dan obligasi dalam dolar, sedangkan dari sisi moneter BI harus dapat menjaga volatilitas dan arus modal asing sehingga pelemahan rupiah dapat tertahan pada level yang masih tergolong aman.”
“Pemulihan ekonomi dan kuatnya fundamental Indonesia akan tetap menjadi penopang pasar saham dan obligasi Indonesia ke depannya”, tutup Johanna.