Jakarta, 21 November 2024 – Memasuki tahun 2025, Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan ekonomi baik di tingkat domestik maupun global. Pemerintahan baru diharapkan untuk menghadirkan kebijakan yang tidak hanya mengatasi tantangan ini, tetapi juga mampu mengintegrasikan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) guna mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif di tengah ketidakpastian global.
Berbagai tantangan eksternal seperti inflasi global, , serta berlanjutnya konflik geopolitik antara Rusia-Ukraina, Israel-Palestina, dan memanasnya ketegangan di Timur Tengah, telah memaksa bank sentral dunia untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan suku bunga. Hal ini berujung pada pengurangan aliran modal ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain itu, Indonesia juga harus menghadapi tantangan domestik, khususnya dalam hal stabilitas harga energi dan pangan yang masih dipengaruhi oleh situasi global yang tidak menentu.
Menanggapi tantangan-tantangan ini, Grant Thornton Indonesia kembali menggelar acara tahunan mereka yaitu, Economic Outlook 2025. Acara ini diselenggarakan dalam format talkshow pada tanggal 21 November 2024, dengan mengangkat topik "Overcoming Economic Challenges and Integrating ESG into Strategic Planning"
Acara ini dibuka oleh CEO Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani, yang menyampaikan pentingnya acara ini di tengah tantangan yang dihadapi Indonesia, baik secara domestik maupun global. “Dengan tema yang kami angkat tahun ini, kami ingin mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk melihat lebih dalam mengenai bagaimana Indonesia bisa menghadapi berbagai tantangan ekonomi yang ada, serta bagaimana integrasi ESG dalam strategi bisnis dan kebijakan ekonomi dapat membantu menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan,” ujar Johanna.
Dalam Economic Outlook 2025, Grant Thornton Indonesia menghadirkan dua pembicara yaitu Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom dan Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), dan Tagor Sidik Sigiro, Assurance Partner Grant Thornton Indonesia, untuk memaparkan tantangan utama serta strategi yang dapat diadopsi oleh pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Tantangan Ekonomi 2025: Perspektif Global dan Domestik
Bhima Yudhistira Adhinegara memaparkan bahwa ekonomi global pada tahun 2025 masih dipengaruhi oleh ketidakstabilan geopolitik, termasuk perang dagang yang meluas.
“Perang saat ini tidak hanya terbatas pada konflik fisik tetapi juga perang dagang, contohnya, negara-negara seperti Tiongkok dan AS mengalihkan industri semikonduktor dan otomotif mereka ke negara ASEAN, tetapi Indonesia belum menjadi prioritas. Selain itu, ancaman kehilangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari AS terhadap produk seperti pakaian jadi, alas kaki, dan perikanan juga dapat menekan daya saing ekspor Indonesia,” ujar Bhima.
Ia juga menyoroti kebijakan pseudo-proteksionisme pemerintah, seperti pelarangan iPhone 16, yang dapat memicu antipati dari investor asing. "Alih-alih meningkatkan daya saing dan infrastruktur, kebijakan ini malah berpotensi memperburuk iklim investasi. Sementara itu, negara seperti Vietnam lebih kompetitif dengan perjanjian perdagangan yang spesifik," tambahnya.
Dari sisi domestik, Bhima mencatat bahwa kebijakan fiskal yang agresif, seperti kenaikan PPN, dapat mengurangi daya beli masyarakat dan memicu peningkatan barang ilegal. "Masyarakat akan beralih ke barang tanpa PPN, yang berisiko memperluas pasar barang ilegal dan menghambat pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Tagor Sidik Sigiro menambahkan bahwa kebijakan fiskal saat ini menjadi perhatian utama sektor swasta. "Banyak pengusaha merasa kebijakan fiskal seperti pajak PPN dan Natura kurang mendukung operasional bisnis. Selain itu, tren investasi di Indonesia menunjukkan banyak perusahaan hanya membuka kantor dagang tanpa pendirian pabrik di Indonesia sejak 2022. Ini perlu menjadi fokus perhatian agar nilai investasi dalam menyerap tenaga kerja dan bahan baku menjadi lebih optimal," ujar Tagor.
Peran Strategis ESG dalam Perekonomian
Selain membahas tantangan ekonomi, kedua pembicara sepakat bahwa integrasi prinsip ESG dalam kebijakan ekonomi menjadi langkah penting untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan.
"Urgensi penerapan ESG semakin tinggi, khususnya di sektor strategis seperti energi, keuangan, dan pertanian. Penerapan ESG tidak hanya mengelola risiko bisnis tetapi juga mendorong stabilitas ekonomi jangka panjang," kata Bhima.
Bhima menambahkan bahwa regulasi dan standar internasional mendorong perusahaan Indonesia untuk mempercepat penerapan ESG. Beberapa regulasi yang relevan seperti IFRS 1 dan IFRS 2, EU Deforestation Regulation, Financial Stability Board (FSB) melalui Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD), dan Global Reporting Initiatives (GRI) yang menjadi kerangka kerja utama untuk pelaporan keberlanjutan.
Tagor mengatakan, "Grant Thornton Indonesia melihat bahwa tren ESG di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara maju. Meski demikian, jika diterapkan dengan benar, ESG dapat membantu perusahaan menghadapi fluktuasi ekonomi global dan memastikan keberlanjutan usaha."
Proyeksi Ekonomi Indonesia di Tahun 2025
Bhima Yudhistira memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025 hanya akan mencapai 4,7%–4,9%, lebih rendah dari target 5%. "Semoga perkiraan saya salah, karena Indonesia memiliki peluang besar dengan diplomasi internasional yang baik untuk memperbaiki prospek ini," ungkapnya.
Ia menambahkan, beberapa faktor yang memengaruhi proyeksi ini meliputi:
- Nilai Tukar Rupiah: Dolar AS diperkirakan mencapai Rp16.200–Rp16.700 akibat kebijakan The Fed dan administrasi Presiden AS Donald Trump.
- Kontribusi Komoditas: Sektor komoditas belum menjadi andalan yang signifikan untuk mendorong devisa.
- Kebijakan Domestik: Kenaikan PPN dapat menekan daya beli masyarakat dan memperluas pasar barang ilegal.
"Meski sulit, sektor-sektor seperti pertanian, perikanan, pendidikan, konstruksi, dan biodiesel diproyeksikan mendapatkan dukungan pemerintah untuk tetap tumbuh," tambah Bhima.
Tagor Sidik Sigiro menggarisbawahi bahwa beberapa provinsi seperti Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Timur menunjukkan pertumbuhan tinggi, berkat investasi besar di sektor unggulan. Namun, ia memperingatkan bahwa pelaku usaha kemungkinan akan berada dalam survival mode hingga 2025, mengingat kebijakan fiskal saat ini menjadi tantangan utama.
Tantangan Utama di Depan Mata
Bhima menyoroti bahwa implementasi program pemerintah dan pembiayaannya harus diperhatikan agar tidak berdampak negatif pada sektor riil, khususnya ritel dan kelas menengah. "Diplomasi ekonomi yang strategis dapat mengurangi dampak perang dagang dan memperkuat posisi Indonesia di mata dunia," jelasnya.
Tagor menambahkan, "Pebisnis tentu akan bertahan dengan cara mereka masing-masing, tetapi kebijakan pemerintah yang lebih ramah bisnis akan memperlancar aktivitas ekonomi dan meningkatkan kepercayaan pelaku usaha."
Rekomendasi Strategis untuk 2025
Para pembicara sepakat bahwa langkah-langkah berikut dapat membantu Indonesia menghadapi tantangan 2025:
- Penguatan Diplomasi Ekonomi: Menarik investasi asing melalui kebijakan yang lebih terbuka dan kompetitif.
- Dukungan pada Sektor Strategis: Fokus pada sektor energi terbarukan, pertanian, dan pendidikan.
- Penerapan ESG: Menjadi prioritas dalam kebijakan nasional untuk keberlanjutan ekonomi.
- Kebijakan Fiskal yang Ramah Bisnis: Merancang kebijakan pajak dan insentif yang mendorong iklim investasi positif.